Manusia adalah makhluk yang
ber-Ada- dan mempunyai tanggung jawab besar atas dirinya sendiri sebagai yang
“terlempar” kedunia, hingga menimbulkan persoalan yang jarang sekali
dipikirkan. Persoalan yang tak pernah ia sadari adalah persoalan mengenai
Ada-nya ia didunia. Walaupun ia sadari dan dipikirkan terus menerus dalam
hidupnya untuk mencari jawaban atas persoalan tersebut malah akan mengantarkan
dirinya pada kegilaan yang tak diinginkan sebelumnya.
Mengenai persoalan tersebut
akhirnya ada sebagian dari filsuf yang dikenal sebagai filsuf eksistensialisme,
dimana inti pemikirannya mengacu pada persoalan dan jawaban atas keber-ADA-anya
manusia didunia ini. Salah satu filsuf tersebut adalah Heidegger. Dalam bukunya
Being and Time (Sein und Zeit) banyak diulas mengenai manusia
sebagai makhluk yang Ada didunia ini.
Jawaban Heidegger terhadap
pertanyaan yang jarang terlintas dalam pola pikir manusia itu yakni darimana
aku, kemana aku, dan mengapa aku ada? Adalah dengan bagaimana manusia ada dan
menjadi. Manusia untuk ada dan menjadi adalah dengan cara manusia harus
berorientasi dalam menghadapi hidupnya untuk diarahkan pada masa depan.
Langkah orientasi yang akan
dilakukan oleh manusia (Dasein) tersebut adalah dengan cara memahami,
menginterpretasi dan menyampaikan keterlemparannya kedunia yang berakar pada
keterbukaan Dasain terhadap masa depannya.
Disini posisi Heidegger dalam
menanggulangi persoalan Dasein yang terlempar kedunia adalah tidak boleh
mengabaikan suasana hati. Suasana hati disini adalah sebagai cara menyadarkan
diri kita akan keterlemparan. Menghayati suasana hati bagi Heidegger adalah
suatu cara untuk mencandra Ada (Budi Hardiman: 2003: 69). Dimana kita berada,
disanalah suasana hati kita situasikan. Maka disana jugalah cara mengada kita
ditala sesuai dengan situasi. Karena Dasain tidaklah terkurung dalam
dirinya, melainkan ia terbuka untuk dunia hingga akhirnya membuat suatu
kejelasan tentang bagaimana dirinya ada dan menjadi.
26 Oktober
2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar