Sadarkah kalau manusia itu ada.
Dengan ia sadar bahwa ia ada apakah makna dari ada-nya ia. Apakah hanya diam
dan mengikuti dengan cara sadarnya. Apakah dalam dirinya tak ada nilai-nilai
berontak terhadap lingkungan sekitar dengan cara bahwa ia sadar akan keber-Ada-annya.
Jika begitu, manusia ini telah mati, dan menguburkannya sendiri dalam dirinya.
Sehingga menjadi hantu-hantu yang mempunyai nilai tak sempurna. Maka perlu
sekali manusia ini mengkaji dirinya sebelum mengkaji yang lain bahwa dirinya
ada dan bermakna didunia ini. Apakah ia hanya sekedar ada atau tidak sebagai
manusia. Heidegger sebagai filsuf eksistensialis mengkaji manusia dari segi
keberadaannya atau mengarah pada “kemanusiaannya” bukan pada kesadarannya.
sehingga yang ia pertanyakan adalah— Siapakah manusia itu?
Manusia adalah makhluk yang
terkadang dituntun oleh lingkungan dan terkadang menuntun lingkungannya. Lantas
apa yang sebenarnya terjadi dalam hidup ini, apakah manusia yang di tuntun atau
menuntun? Jika manusia adalah makhluk yang dituntun, maka jelas sekali dalam
diri manusia tidak ada sebuah “kehendak” yang akan membawanya sesuai
keinginannya. Jika manusialah yang menuntun, maka dengan kehendaknya ia merubah
diri dalam menjalani hidup untuk membuktikan bahwa ia ada, membuktikan bahwa ia
bisa menunjukkan keberadaannya dengan semangat kehendak yang ia miliki dan tak
putusnya sebuah keberanian yang ia ciptakan untuk menantang zaman dengan
keber-ADA-annya.
“Akulah manusia yang mampu
meciptakan diriku sendiri”, inilah ucapan manusia yang sadar akan
keber-ADA-annya. Maka disini tak lepas dari apa yang telah dikatakan oleh
Heidegger, bahwa manusia adalah makhluk yang tak lepas dari “kehendak” untuk
menunjukkan bahwa ia ada. Lain halnya dengan Descartes yang mengatakan “Aku
berpikir maka Aku ada”. Sebuah pernyataan yang dikritik keras oleh Heidegger,
bahwa tidaklah mungkin kita berpikir dulu, tanpa menyadari bahwa diri ini ADA.
Jika mau membenarkan ungkapan Descartes tersebut, bahwa manusia ini sebelumnya
sudah mati, dengan berpikir ia ingin membangkitkan dirinya bahwa ia ADA. Maka
tak lain bahwa manusia adalah kuburannya sendiri, dengan berpikir maka ia akan
bangkit dari kuburnya untuk ada.
Kembali lagi kepada diri manusia
sebagai makhluk yang senang terhadap interaksi sosial, akan tetapi dapatkah ia
menunjukkan atau mendialogkan keber-ADA-annya dengan orang lain. Lantas
bagaimana cara ia untuk ber-Ada ditengah keber-Ada-an orang lain. Karena kalau
memang ia adalah makhluk yang sadar, tahu akan keber-Ada-annya maka ia akan
melakukan langkah bahwa ia ada dalam artian dinamis. Karena eksistensi manusia
adalah manusia yang dinamis pro-aktif. Maka dengan kata lain bukan manusia itu
sadar bahwa ia ada lantas tidak mengaplikasikan keber-Ada-annya, jika begitu
bahwa manusia itu sudah mati sudah terkubur dalam diri tanpa disadari.
Perlunya diingat ungkapan
Nietzsche, dimana ia mengatakan bahwa dalam diri manusia ada sebuah nilai-nilai
yang akan mengantarkannya pada sebuah pilihan, tanpa butuh terhadap nilai-nilai
yang transenden. Maka untuk menciptakan diri itu ada, munculkanlah nilai-nilai
itu. Bukan menjadi manusia yang tunduk patuh dan menjalani hari-hari dengan
waktu yang menentukan, melainkan kita-lah yang harus menyetir waktu itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar