Kamis, 06 November 2014

“Aku telah mati, Kuburanku adalah Aku”



Sadarkah kalau manusia itu ada. Dengan ia sadar bahwa ia ada apakah makna dari ada-nya ia. Apakah hanya diam dan mengikuti dengan cara sadarnya. Apakah dalam dirinya tak ada nilai-nilai berontak terhadap lingkungan sekitar dengan cara bahwa ia sadar akan keber-Ada-annya. Jika begitu, manusia ini telah mati, dan menguburkannya sendiri dalam dirinya. Sehingga menjadi hantu-hantu yang mempunyai nilai tak sempurna. Maka perlu sekali manusia ini mengkaji dirinya sebelum mengkaji yang lain bahwa dirinya ada dan bermakna didunia ini. Apakah ia hanya sekedar ada atau tidak sebagai manusia. Heidegger sebagai filsuf eksistensialis mengkaji manusia dari segi keberadaannya atau mengarah pada “kemanusiaannya” bukan pada kesadarannya. sehingga yang ia pertanyakan adalah— Siapakah manusia itu?
Manusia adalah makhluk yang terkadang dituntun oleh lingkungan dan terkadang menuntun lingkungannya. Lantas apa yang sebenarnya terjadi dalam hidup ini, apakah manusia yang di tuntun atau menuntun? Jika manusia adalah makhluk yang dituntun, maka jelas sekali dalam diri manusia tidak ada sebuah “kehendak” yang akan membawanya sesuai keinginannya. Jika manusialah yang menuntun, maka dengan kehendaknya ia merubah diri dalam menjalani hidup untuk membuktikan bahwa ia ada, membuktikan bahwa ia bisa menunjukkan keberadaannya dengan semangat kehendak yang ia miliki dan tak putusnya sebuah keberanian yang ia ciptakan untuk menantang zaman dengan keber-ADA-annya.
“Akulah manusia yang mampu meciptakan diriku sendiri”, inilah ucapan manusia yang sadar akan keber-ADA-annya. Maka disini tak lepas dari apa yang telah dikatakan oleh Heidegger, bahwa manusia adalah makhluk yang tak lepas dari “kehendak” untuk menunjukkan bahwa ia ada. Lain halnya dengan Descartes yang mengatakan “Aku berpikir maka Aku ada”. Sebuah pernyataan yang dikritik keras oleh Heidegger, bahwa tidaklah mungkin kita berpikir dulu, tanpa menyadari bahwa diri ini ADA. Jika mau membenarkan ungkapan Descartes tersebut, bahwa manusia ini sebelumnya sudah mati, dengan berpikir ia ingin membangkitkan dirinya bahwa ia ADA. Maka tak lain bahwa manusia adalah kuburannya sendiri, dengan berpikir maka ia akan bangkit dari kuburnya untuk ada.
Kembali lagi kepada diri manusia sebagai makhluk yang senang terhadap interaksi sosial, akan tetapi dapatkah ia menunjukkan atau mendialogkan keber-ADA-annya dengan orang lain. Lantas bagaimana cara ia untuk ber-Ada ditengah keber-Ada-an orang lain. Karena kalau memang ia adalah makhluk yang sadar, tahu akan keber-Ada-annya maka ia akan melakukan langkah bahwa ia ada dalam artian dinamis. Karena eksistensi manusia adalah manusia yang dinamis pro-aktif. Maka dengan kata lain bukan manusia itu sadar bahwa ia ada lantas tidak mengaplikasikan keber-Ada-annya, jika begitu bahwa manusia itu sudah mati sudah terkubur dalam diri tanpa disadari.
Perlunya diingat ungkapan Nietzsche, dimana ia mengatakan bahwa dalam diri manusia ada sebuah nilai-nilai yang akan mengantarkannya pada sebuah pilihan, tanpa butuh terhadap nilai-nilai yang transenden. Maka untuk menciptakan diri itu ada, munculkanlah nilai-nilai itu. Bukan menjadi manusia yang tunduk patuh dan menjalani hari-hari dengan waktu yang menentukan, melainkan kita-lah yang harus menyetir waktu itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar