Rabu, 30 Desember 2015

Bagaimana Jika Semua ini Omong Kosong?

Pengalaman rasa sakit dan pencarian akan obat (pencarian akan yang akhir: kebenaran) merupakan wajah sejarah manusia. Hidup ini seolah ‘digiring’ untuk memecahkan selimut kerinduan. Kerinduan yang begitu dalam akan seseuatu tanpa cacat hadir dalam dunia nyata.
Semua orang bertarung, melawan, menggunakan banyak cara, menggunakan banyak topeng (wajah lain) dan menjadi pengembara karena terdorong oleh sesuatu untuk mengutuhkan dirinya.

Adakah alasan lain? yaitu, untuk TERTAWA.

Tindakan kita selalu berwajah lain walaupun disertai dengan konsep yang dibangun dengan pondasi cakar langit. Pikiran itu terlalu mulus. Kemulusannya yang tak pernah tampak. Lantas, apakah pikiran itu memang musuh dari realias?
Ada jutaan dan bahkan ribuan tumpukan obat. Namun kegunaannya masih dalam absurditas. Bukan menyembuhkan, melainkan menakutkan seperti mumi-mumi dan berhala-berhala. Sepertinya masih belum ada manusia dalam hidupnya bertemu dengan kekeliruan yang terakhir kalinya. Begitu pula dengan kebenaran ! Masih adakah bentuk final, clear, mutlak di dunia ini? Sehingga ia lepas dari rasa curiga.
Penderitaan dalam hidup ini semakin sulit dipahami. Dunia terlalu banyak di isi orang-orang yang meminta tolong daripada penolong.
Tidak hendak bersikap fatalistik, apakah semua ini memanglah enigma dan omong kosong belaka. Kenyataan yang tampak adalah semua manusia haus dan butuh akan pegangan untuk terus tetap hidup. Pegangan itu dapat berupa prinsip, tujuan, agama, Tuhan, ilmu pengetahuan, kebenaran, kekeliruan, kekuasaan dan pegangan-pegangan lainnya.
Kebutuhan akan pegangan menjadi pelarian. Di-amini sebagai obat segala persoalan.

Masihkah suatu tawaran, solusi, dan motivasi diperlukan?

Kamis, 26 November 2015

Ketika Akal Membeo dan Membisu

Kehadiran tulisan pendek  ini ingin menjelaskan mengapa kebenaran harus di tangguhkan atau mengapa kebenaran absolut itu tidak ada dan sesuatu yang ada hanyalah kebeluman yang terus-menerus.
***
Sejatinya kekuatan terbesar manusia adalah akal. Moralitas tanpa agama, akal dapat mewujudkannya. Di sisi lain akal tidak hanya mampu mewujudkan moralitas (baik dan buruk) dalam kehidupan manusia akan tetapi akal acapkali menakutkan pemiliknya. Ketidakselarasan antara isi pokok pikiran dengan realitas sering kali mewujud delima yang cukup besar.
Akal berjalan tanpa ada batas tempuh atau titik final. Keunikannya terletak pada sikap keragu-raguan yang tidak ada obatnya. Kesimpulan hanyalah tempat istirahat akal yang sedang lelah. Hal ini tergambar jelas dalam album waktu bernama sejarahnya manusia.  Dokumentasi hidup manusia tidak ada yang bersifat clear.
Realitas, baik diri manusia sebagai individu dan sesuatu yang ada di luar dirinya merupakan problem yang tak pernah usai, meskipun sudah banyak realitas yang di sentuh dan ternamai (baca: di beri nama) bukan berarti sudah tidak ada lagi realitas yang tersembunyi. Karena realitas pada dasarnya selalu menyimpan sesuatu yang asing bagi manusia. Jika sesuatu yang asing itu belum pernah kita jumpai, bukan berarti ia tidak ada. Sesuatu yang asing itu ada, namun masih dalam pusaran waktu yang panjang untuk dapat di ungkap eksistensinya. Umur manusia kurang memadai untuk menyingkap, mengungkap dan mencerabut banyaknya mesteri yang ada pada/dalam realitas.
Akal sebangai ciptaan Tuhan yang menjadi anugrah terbesar manusia tidak berada dalam kondisi yang bisu. Proses atau cara nalarnya tidak dapat melepaskan bahasa sebagai medium untuk terus melangkah dan menemukan sesuatu yang misteri dalam realitas itu sendiri.
Secara fundamental gerak laju akal tidak dapat di lepaskan dari bahasa. Kritik, pernyataan dan pertanyaan serta kesimpulan yang dimunculkan oleh akal hadir karena bahasa. Gerak-gerik akal itu memancarkan bahasa dan berhenti karena keterbatasan bahasa.
Akal itu tidak akan pernah bisu selama kata-kata yang akan menjadi bahasa sebagai medium masih ada. Kebisuan akal hanyalah terletak pada keterbatasan kata-kata untuk disatukan menjadi bahasa.

27 November 2015

Mohammad Ishak Maulana

Sabtu, 02 Mei 2015

Terlalu Manusiawi

Dunia yang didambakan oleh setiap makhluk yang ada didalamnya adalah dunia tanpa pertentangan, tanpa cemo'oh, tanpa celaan, tanpa peperangan, tanpa penindasan, tanpa dan tanpa yang lainnya, karena "ketenangan sangatlah diinginkannya". Namun, dambaan tidaklah selalu menjadi hal yang tetap melainkan dambaan itu selalu mengalami evolusi yang akhirnya menimbulkan penindasan, peperangan dst. Terlalu manusiawi!.
Kehausan dan kerinduan yang dalam akan "ketenangan" inilah yang disebut dengan "Terlalu Manusiawi". 

Bongkar

Hegel, adalah salah satu filsuf yang dianggap sebagai raksasa filsafat Jerman mampu membuat suatu rumusan dalam sejarah manusia, bahwa dalam sejarahnya manusia selalu berjalan ke arah semakin rasional. Dengan konsep dialektikanya (tesis-antitesis-sintesis) ia menjelaskan bahwa sejarah manusia dapat mengubah dari kekurangan menjadi kekuatan.
toh, walaupun Hegel menyatakan demikian, pada dasarnya sejarah manusia adalah sejarah bongkar-membongkar dan kritik-mengkritik. Sebagaimana pernyataan Max Horkheimer bahwa masa depan manusia tergantung atas adanya kritik dewasa ini. Begitu juga dalam sebuah kata pengatar buku Jurgen Habermas “Teori Tindakan Komunikatif I” terdapat pernyataan bahwa ‘rasio bertahan karena ada kritik rasio’. Adanya hal yang demikian tak lain adalah kehausan dan kerinduan manusia atas subtansi realitas. Bongkar-membongkar adalah hal yang selalu bersentuhan dengan manusia dimana hal ini terjadi atas adanya kondisi dan medan yang dihadapinya. Sehingga realitas hari ini yang kita pahami bisa saja berbeda dengan realitas yang akan kita pahami besok hari. Inilah sejarahnya!.
Disisi lain, manusia memang makhluk yang selalu berusaha mencari dan ingin mengungkapkan realitas yang dianggapnya masih kabur. Pertentangan demi pertentangan selalu terjadi dan tak bisa dielakkan. Interpretasi selalu mengalami perubahan dengan kondisi yang dihadapi manusia itu sendiri. Karena menyoal realitas adalah pekerjaan manusia itu sendiri dengan cara apakah realitas itu harus dihadapi, diantisipasi, atau dibongkar?. Kekuatan nalar manusialah ukurannya!.

Jumat, 01 Mei 2015

Mau kemana dan mau apa?



Saya kira tidak perlu dan harus ada yang namanya kesimpulan. Karena setiap kesimpulan akan selalu dihadapkan dengan pertentangan-pertentangan.
Hidup ini memang harus dijalani. Namun kita harus mempunyai arah dan tujuannya. Mau kemana dan mau apa menjadi pertanyaan dalam drama eksistensial manusia itu sendiri. Sehingga, perlombaan untuk menetaskan jawaban “mau kemana dan mau apa?” menjadi sangat sengit baik dalam diri manusia itu sendiri dan manusia dengan manusia.
Mau kemana dan mau apa merupakan suatu pertanyaan yang harus dijawab. Karena manusia adalah sosok yang selalu haus akan sebuah jawaban dan kepastian. Dan inilah yang mengantarkannya pada sikap saling membangun suatu gerakan dan kekuatan dalam setiap bangunan konsepnya. Walaupun sebuah jawaban yang selalu di dambakan dan diharapkan tidak pernah ada dalam kondisi final dan mutlak, melainkan atau dalam kondisi kesementaraan (sebagai pegangan). Sehingga hidup manusia selalu diwarnai oleh tinta pertentangan-pertentangan. Baik dari dan untuk dirinya sendiri atau pun dengan orang lain.
Mau kemana dan mau apa? Tak sesederhana kita mampu menjawabnya. Bunuh diri adalah perkara pertama yang dialami oleh manusia. Artinya, posisi bunuh diri ini merupakan bunuh diri atas konsep yang dibangun oleh nalar sebagai tesis awal dan dihancurkan tesis yang dibangun selanjutnya atau kita mengenalnya dengan anti-tesis. Hal ini sangat wajar terjadi. Karena sudah menjadi bagian dari hidup manusia itu sendiri.
Kewajaran ini akahirnya menjadi hal yang tidak wajar. Mengapa? Karena semakin manusia mempersoalkan realitas baik eksistensinya sendiri atau realitas secara umum akan menjadi bagian hidupnya dalam posisi kecemasan dan kegelisahan sebuah eksistensi.
Kecemasan dan kegelisahan sebuah eksistensi adalah semacam siksaan dari pertanyaan “mau kemana dan mau apa?”. Dalam arti lain dapat dinayatakan demikian, kegelisahan dan kecemasan yang dialami oleh manusia adalah posisinya yang mencoba memahami (Verstehen) realitas yang penuh dengan misteri dan kekaburan.
Menyingkap dan menguliti serta menyoal realitas adalah bahwa realitas itu perlu untuk diterangi.
“Mau kemana dan mau apa?” adalah pertanyaan dimana manusia perlu untuk menjawabnya. Baik dari dirinya sendiri atau dari sumbangsih orang lain.

“Mencoba & Menyoal”



Sejarah manusia berjalan ke arah yang semakin rasional. Begitulah Hegel menegaskan. Maka tidak dapat dipungkiri jika pengetahuan manusia semakin berkembang sesuai dengan kebutuhannya. Dan biasanya hal yang sering mengalami perdebatan panjang adalah sesuatu yang berbau metafisik. Sehingga terdapat beberapa golongan yang pro dan kontra, tentang hal metafisik itu ada dan tidak.
Merupakan sesuatu yang wajar jika manusia bertanya. Karena manusia itu sendiri tidak dapat pernah dipisahkan dari proses berpikir. Lebih lanjut, manusia adalah makhluk yang tidak pernah pensiun dalam berpikir. Rasio bertahan karena ada kritik atas rasio itu sendiri. Jadi, pemahaman seseorang selalu berada dalam kondisi yang tidak aman, melainkan selalu berada dalam kondisi dicurigai.
Sesuatu yang berbau metafisik yang selalu eksis dan bahkan tidak pernah layu dalam berbagai disikusi merupakan sesuatu yang tidak pernah dapat dijangkau dengan mudah. Heidegger menegaskan bahwa persolan metafisik akan selalu berada dalam kondisi yang tidak pernah selesai dan aman.

 “Mungkin hari ini Tuhan yang saya pahami berbeda dengan Tuhan yang akan saya pahami besok. Pertanyaan sederhananya yang selalu menjebak manusia adalah, Tuhan itu sendiri seperti apa, siapa dan dimana? Serta adakah sesuatu yang dilakukan olehnya kepada diri saya yang bersifat rahasia. Lantas darimana saya dapat mengetahuinya?”
02 Mei 2015

Selasa, 21 April 2015

Apa yang menjebak kita dalam memahami realitas?

Hal paling mendasar dan menghasilkan sesuatu yang besar adalah akal. Tidak menutup kemungkinan manusia mengamininya. Karena manusia adalah makhluk yang tidak pernah pensiun dalam berpikir. Ia selalu berada dalam kondisi “proses untuk menjadi”. Ali Syari’ati mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang tidak pernah usai (A. Kadir Riyadi: 2014).
Ketidak usaian manusia dalam hidupnya juga menjadi sejarahnya. Atau manusia adalah makhluk yang membuat sejarahnya sendiri. Semakin hari manusia semakin rasional, dan semakin rasional manusia semakin terjebak di dalam jejaring kerasionalannya. Mengapa? Jelas, manusia adalah makhluk yang selalu memburu makna realitas. Realitas yang ia pahami selalu berada dalam kondisi berubah-ubah. Sehingga pemahaman terhadap realitas akan juga mengalami perubahan yang tidak pernah final.
Dari sedikit penjelasan diatas kita akan mencoba memahami apa sebenarnya yang menjebak kita dalam memahami (Verstehen) realitas? Sederhana sebenarnya untuk menemukan jawaban dari pertanyaan ini yaitu akal kitalah yang menjebaknya. Mengapa?
1.      Bagi manusia yang aktif berpikir dialektis, maka dia akan selalu memburu makna yang terkandung pada realitas itu sendiri.
2.      Dunia ini tidak mungkin bermakna jika kita tidak memberikannya makna dengan jalan olah akal kita.
3.      Fenomena tidak akan dapat dipahami jika tidak dengan jalan interpretasi.
Lanjut, dimana keterjebakan kita sebenarnya? Keterjebakan kita sebenarnya adalah pada hasil interpretasi itu sendiri. Hasil dari definisi itu sendiri. Hasil dari pemaknaan itu sendiri. Hasil dari kesibukan kita dalam memahami realitas itu sendiri. Lantas adakah jalan pembebasannya?
Jalan pembebasannya adalah mencoba keluar dari setiap definisi yang kita hasilkan terus dan terus melakukan gerakan untuk keluar, atau jalan ini disebut dengan model berpikir dialektik.
Mari kita lakukan pembunuhan atas pikiran kita dengan pikiran kita sendiri