Hal paling
mendasar dan menghasilkan sesuatu yang besar adalah akal. Tidak menutup
kemungkinan manusia mengamininya. Karena manusia adalah makhluk yang tidak
pernah pensiun dalam berpikir. Ia selalu berada dalam kondisi “proses untuk
menjadi”. Ali Syari’ati mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang tidak
pernah usai (A. Kadir Riyadi: 2014).
Ketidak usaian
manusia dalam hidupnya juga menjadi sejarahnya. Atau manusia adalah makhluk
yang membuat sejarahnya sendiri. Semakin hari manusia semakin rasional, dan
semakin rasional manusia semakin terjebak di dalam jejaring kerasionalannya. Mengapa?
Jelas, manusia adalah makhluk yang selalu memburu makna realitas. Realitas yang
ia pahami selalu berada dalam kondisi berubah-ubah. Sehingga pemahaman terhadap
realitas akan juga mengalami perubahan yang tidak pernah final.
Dari sedikit
penjelasan diatas kita akan mencoba memahami apa sebenarnya yang menjebak kita
dalam memahami (Verstehen) realitas? Sederhana sebenarnya untuk
menemukan jawaban dari pertanyaan ini yaitu akal kitalah yang menjebaknya. Mengapa?
1. Bagi manusia yang aktif berpikir
dialektis, maka dia akan selalu memburu makna yang terkandung pada realitas itu
sendiri.
2. Dunia ini tidak mungkin bermakna
jika kita tidak memberikannya makna dengan jalan olah akal kita.
3. Fenomena tidak akan dapat dipahami
jika tidak dengan jalan interpretasi.
Lanjut, dimana
keterjebakan kita sebenarnya? Keterjebakan kita sebenarnya adalah pada hasil
interpretasi itu sendiri. Hasil dari definisi itu sendiri. Hasil dari pemaknaan
itu sendiri. Hasil dari kesibukan kita dalam memahami realitas itu sendiri. Lantas
adakah jalan pembebasannya?
Jalan pembebasannya
adalah mencoba keluar dari setiap definisi yang kita hasilkan terus dan terus
melakukan gerakan untuk keluar, atau jalan ini disebut dengan model berpikir
dialektik.
“Mari kita lakukan pembunuhan atas pikiran kita
dengan pikiran kita sendiri”