Sulit kiranya dapat ditepis bahwa
tak sedikit manusia sadar akan siapa dirinya, sehingga ia lupa bahwa dalam
dirinya ada/memiliki sebuah eksistensi yang akan dibangun dengan melaui
kehendak. Pun juga sulit ditepis oleh manusia bahwa dalam dirinya ada sebuah
nilai-nilai yang akan membawanya pada sebuah eksistensi(nya) tanpa melalui
nilai-nilai dari luar. Namun semua itu akan terbangun yaitu hanya dengan satu
keseriusan dalam “kehendak” untuk menuju sebuah jawaban dari pertanyaan siapa
aku?.
Pertanyaan siapa aku merupakan
sebuah kajian/pencarian filosofis dimana pencarian ini tidaklah bermain-main,
melainkan sebuah kajian dengan nalar universal, radikal, sistematis dan
komperensip. Sebuah pencarian tentang “siapa aku”, disini perlu ditekankan pada
ke”Aku”-annya dalam pencarian dengan melalui pendekatan filosofis. Dengan
melalui penyadaran akan diri untuk menciptakan diri pribadi, juga dengan
melepaskan diri atau “Aku” dari orang lain untuk menemukan “Aku”.
Dalam pencarian “Aku” dimana
dengan melepaskan “Aku” dari orang lain sudah menunjukkan sebuah pencarian awal
dalam mencari “Aku” ditengah aku-aku yang lain. Pelepasan ini memang memiliki
sebuah resiko yang akan mengantarkan pada konsekwensi yaitu derita yang akan
diterima pertama adalah teralienasi dari keramaian. Maka benih yang harus
ditanam disini adalah “Aku harus... bukan “Kamu harus... ini
adalah sebuah langkah proses, proses mencari Aku dalam diri. “Aku bukanlah
Aku, melainkan Aku berproses untuk menjadi “Aku”.
Langkah kedua dalam pencarian
“Aku” dalam “Aku” haruslah dengan cara, pertama, Mengatasi status kebinatangan. Kedua, Mengatur
naluri-naluri hidup. Yang terpenting ketiga, adalah Menjadi tuan
atas naluri atau pribadi.
Jika manusia sudah memulai perjalanan dalam pencarian
“Aku-nya dengan menjadi tuan atas dirinya, maka langkah terakhir adalah “berani
berkata ia pada hidup yang penuh dengan chaos ini”. Dengan begitu maka
manusia yang memang dalam dirinya tercipta dengan mempunyai eksistensi
pencarian “Aku” sudah dapat ditemukan, dan inilah yang disebut oleh Nietzsche
dengan Ubermensch.
“Aku” disini adalah Aku yang ditemukan dengan melalui
pencerahan, atau dapat dicapai dengan Aku mencari Aku dengan proses pencerahan.
Jika mengakar pada apa yang disebut Ubermensch oleh Nietzsche adalah Ubermensch
yang ditemukan atau ditemukan dengan tiga bangunan yang ada dalam diri
yaitu, cerdas, kuat dan berani. Aku yang dicari dan akhirnya dicapai ini
bukanlah “Aku” yang immoral, tak tahu aturan dan liar atau seperti orang
Barbar, walaupun ia adalah manusia yang menciptakan nilai-nilai. Melainkan Aku
yang dicapai dapat mengafirmasikan hidup tanpa menolak sedikitpun.
“Bazgasht
beh khishtan”
(kembali
pada diri sendiri)