Selasa, 18 November 2014

“RELATIVISME MANUSIA”



Manusia, adalah makhluk yang mempunyai perbedaan mencolok dari makhluk Tuhan lainnya. Namun bukan berarti perbedaan itu akan berdampak lebih baik dari makhluk Tuhan lainnya, malahan manusia walaupun memiliki perbedaan bisa-bisa perbedaan itu membawanya berada di dataran paling rendah dari makhluk lainnya. Begitu juga perbedaan itu akan membawa manusia pada tataran lebih baik dari yang lebih baik (menduduki posisi yang paling tinggi).
Deskripsi diatas sudah merupakan cermin bahwa manusia adalah makhluk yang relatif. Relatif dalam segala hal. Artinya, tidak akan terus-menerus berada dalam posisi sebagaimana yang diinginkankannya. Roda adalah contoh yang mudah untuk kerelatifan manusia.
Relatif adalah tidak mutlak, tidak tetap dan tidak berada pada posisi sebelumnya yang terus menerus. Kata relatif sebenarnya sudah dipakai oleh Heraklitos seorang filsuf abad ke-6 SM sebagai bahan filsafatnya dalam melihat dunia. Dengan pernyataannya yang sangat terkenl bahwa “manusia tidak akan pernah jatuh ke air yang sama untuk kedua kalinya”.
ttd:
Serpihan Adzan Magrib

Nietzsche; Kehendak Untuk Berkuasa

Kehendak untuk berkuasa mendorong manusia untuk menjadi subyek yang aktif di dalam menjalani hidup, sekaligus menjadi penafsir dunia yang memberi makna (meaning) atasnya. Dengan kehendak untuk berkuasa, manusia bisa menciptakan dan menata dunia. Dalam arti ini dunia adalah tempat yang bukan-manusia (inhuman). Dunia menjadi bermakna karena manusia, dengan subyektivitas serta kemampuannya menafsir, memberinya makna, dan menjadikannya manusiawi (human).
Maka kehendakberkuasa adalah afirmasi yang penuh suka cita pada hidup itu sendiri”.Hidup memang tak bertujuan dan tak memiliki nilai. Namun manusia diminta untuk menerima dan merayakannya sepenuh hati.
Menurut Porter, konsep kehendak berkuasa, yang dirumuskan oleh Nietzsche, adalah sebuah simbol dari kegagalan manusia untuk memahami hakekat terdalam dari realitas. Artinya pengetahuan manusia itu terbatas, sehingga tak mampu untuk memahami dunia seutuhnya. Dalam konteks ini Nietzsche kemudian menawarkan sebuah pemahaman yang lebih puitis tentang hakekat dunia
yang memang tak bisa sepenuhnya tertangkap oleh akal budi manusia. Konsep kehendak untuk berkuasa tidak lahir dari penalaran rasional, tetapi dari imajinasi manusia yang melihat dan tinggal di dalam dunia. Bisa dibilang bahwa Nietzsche hendak melepaskan logos sebagai alat utama manusia untuk memahami dunia, dan menawarkan penjelasan mitologis (mythological explanation ) yang lebih imajinatif, deskriptif, dan kaya di dalam memahami dunia. Akal budi (reason) menyempitkan dunia, sementara imajinasi dan rasa menangkap kerumitannya, dan merayakannya.

Kamis, 06 November 2014

“Aku telah mati, Kuburanku adalah Aku”



Sadarkah kalau manusia itu ada. Dengan ia sadar bahwa ia ada apakah makna dari ada-nya ia. Apakah hanya diam dan mengikuti dengan cara sadarnya. Apakah dalam dirinya tak ada nilai-nilai berontak terhadap lingkungan sekitar dengan cara bahwa ia sadar akan keber-Ada-annya. Jika begitu, manusia ini telah mati, dan menguburkannya sendiri dalam dirinya. Sehingga menjadi hantu-hantu yang mempunyai nilai tak sempurna. Maka perlu sekali manusia ini mengkaji dirinya sebelum mengkaji yang lain bahwa dirinya ada dan bermakna didunia ini. Apakah ia hanya sekedar ada atau tidak sebagai manusia. Heidegger sebagai filsuf eksistensialis mengkaji manusia dari segi keberadaannya atau mengarah pada “kemanusiaannya” bukan pada kesadarannya. sehingga yang ia pertanyakan adalah— Siapakah manusia itu?
Manusia adalah makhluk yang terkadang dituntun oleh lingkungan dan terkadang menuntun lingkungannya. Lantas apa yang sebenarnya terjadi dalam hidup ini, apakah manusia yang di tuntun atau menuntun? Jika manusia adalah makhluk yang dituntun, maka jelas sekali dalam diri manusia tidak ada sebuah “kehendak” yang akan membawanya sesuai keinginannya. Jika manusialah yang menuntun, maka dengan kehendaknya ia merubah diri dalam menjalani hidup untuk membuktikan bahwa ia ada, membuktikan bahwa ia bisa menunjukkan keberadaannya dengan semangat kehendak yang ia miliki dan tak putusnya sebuah keberanian yang ia ciptakan untuk menantang zaman dengan keber-ADA-annya.
“Akulah manusia yang mampu meciptakan diriku sendiri”, inilah ucapan manusia yang sadar akan keber-ADA-annya. Maka disini tak lepas dari apa yang telah dikatakan oleh Heidegger, bahwa manusia adalah makhluk yang tak lepas dari “kehendak” untuk menunjukkan bahwa ia ada. Lain halnya dengan Descartes yang mengatakan “Aku berpikir maka Aku ada”. Sebuah pernyataan yang dikritik keras oleh Heidegger, bahwa tidaklah mungkin kita berpikir dulu, tanpa menyadari bahwa diri ini ADA. Jika mau membenarkan ungkapan Descartes tersebut, bahwa manusia ini sebelumnya sudah mati, dengan berpikir ia ingin membangkitkan dirinya bahwa ia ADA. Maka tak lain bahwa manusia adalah kuburannya sendiri, dengan berpikir maka ia akan bangkit dari kuburnya untuk ada.
Kembali lagi kepada diri manusia sebagai makhluk yang senang terhadap interaksi sosial, akan tetapi dapatkah ia menunjukkan atau mendialogkan keber-ADA-annya dengan orang lain. Lantas bagaimana cara ia untuk ber-Ada ditengah keber-Ada-an orang lain. Karena kalau memang ia adalah makhluk yang sadar, tahu akan keber-Ada-annya maka ia akan melakukan langkah bahwa ia ada dalam artian dinamis. Karena eksistensi manusia adalah manusia yang dinamis pro-aktif. Maka dengan kata lain bukan manusia itu sadar bahwa ia ada lantas tidak mengaplikasikan keber-Ada-annya, jika begitu bahwa manusia itu sudah mati sudah terkubur dalam diri tanpa disadari.
Perlunya diingat ungkapan Nietzsche, dimana ia mengatakan bahwa dalam diri manusia ada sebuah nilai-nilai yang akan mengantarkannya pada sebuah pilihan, tanpa butuh terhadap nilai-nilai yang transenden. Maka untuk menciptakan diri itu ada, munculkanlah nilai-nilai itu. Bukan menjadi manusia yang tunduk patuh dan menjalani hari-hari dengan waktu yang menentukan, melainkan kita-lah yang harus menyetir waktu itu.

Senin, 03 November 2014

Siapa Aku?



Sulit kiranya dapat ditepis bahwa tak sedikit manusia sadar akan siapa dirinya, sehingga ia lupa bahwa dalam dirinya ada/memiliki sebuah eksistensi yang akan dibangun dengan melaui kehendak. Pun juga sulit ditepis oleh manusia bahwa dalam dirinya ada sebuah nilai-nilai yang akan membawanya pada sebuah eksistensi(nya) tanpa melalui nilai-nilai dari luar. Namun semua itu akan terbangun yaitu hanya dengan satu keseriusan dalam “kehendak” untuk menuju sebuah jawaban dari pertanyaan siapa aku?.
Pertanyaan siapa aku merupakan sebuah kajian/pencarian filosofis dimana pencarian ini tidaklah bermain-main, melainkan sebuah kajian dengan nalar universal, radikal, sistematis dan komperensip. Sebuah pencarian tentang “siapa aku”, disini perlu ditekankan pada ke”Aku”-annya dalam pencarian dengan melalui pendekatan filosofis. Dengan melalui penyadaran akan diri untuk menciptakan diri pribadi, juga dengan melepaskan diri atau “Aku” dari orang lain untuk menemukan “Aku”.
Dalam pencarian “Aku” dimana dengan melepaskan “Aku” dari orang lain sudah menunjukkan sebuah pencarian awal dalam mencari “Aku” ditengah aku-aku yang lain. Pelepasan ini memang memiliki sebuah resiko yang akan mengantarkan pada konsekwensi yaitu derita yang akan diterima pertama adalah teralienasi dari keramaian. Maka benih yang harus ditanam disini adalah “Aku harus... bukan “Kamu harus... ini adalah sebuah langkah proses, proses mencari Aku dalam diri. “Aku bukanlah Aku, melainkan Aku berproses untuk menjadi “Aku”.
Langkah kedua dalam pencarian “Aku” dalam “Aku” haruslah dengan cara, pertama, Mengatasi status kebinatangan. Kedua, Mengatur naluri-naluri hidup. Yang terpenting ketiga, adalah Menjadi tuan atas naluri atau pribadi.
Jika manusia sudah memulai perjalanan dalam pencarian “Aku-nya dengan menjadi tuan atas dirinya, maka langkah terakhir adalah “berani berkata ia pada hidup yang penuh dengan chaos ini”. Dengan begitu maka manusia yang memang dalam dirinya tercipta dengan mempunyai eksistensi pencarian “Aku” sudah dapat ditemukan, dan inilah yang disebut oleh Nietzsche dengan Ubermensch.
“Aku” disini adalah Aku yang ditemukan dengan melalui pencerahan, atau dapat dicapai dengan Aku mencari Aku dengan proses pencerahan. Jika mengakar pada apa yang disebut Ubermensch oleh Nietzsche adalah Ubermensch yang ditemukan atau ditemukan dengan tiga bangunan yang ada dalam diri yaitu, cerdas, kuat dan berani. Aku yang dicari dan akhirnya dicapai ini bukanlah “Aku” yang immoral, tak tahu aturan dan liar atau seperti orang Barbar, walaupun ia adalah manusia yang menciptakan nilai-nilai. Melainkan Aku yang dicapai dapat mengafirmasikan hidup tanpa menolak sedikitpun.
Bazgasht beh khishtan
(kembali pada diri sendiri)