Sabtu, 02 Mei 2015

Terlalu Manusiawi

Dunia yang didambakan oleh setiap makhluk yang ada didalamnya adalah dunia tanpa pertentangan, tanpa cemo'oh, tanpa celaan, tanpa peperangan, tanpa penindasan, tanpa dan tanpa yang lainnya, karena "ketenangan sangatlah diinginkannya". Namun, dambaan tidaklah selalu menjadi hal yang tetap melainkan dambaan itu selalu mengalami evolusi yang akhirnya menimbulkan penindasan, peperangan dst. Terlalu manusiawi!.
Kehausan dan kerinduan yang dalam akan "ketenangan" inilah yang disebut dengan "Terlalu Manusiawi". 

Bongkar

Hegel, adalah salah satu filsuf yang dianggap sebagai raksasa filsafat Jerman mampu membuat suatu rumusan dalam sejarah manusia, bahwa dalam sejarahnya manusia selalu berjalan ke arah semakin rasional. Dengan konsep dialektikanya (tesis-antitesis-sintesis) ia menjelaskan bahwa sejarah manusia dapat mengubah dari kekurangan menjadi kekuatan.
toh, walaupun Hegel menyatakan demikian, pada dasarnya sejarah manusia adalah sejarah bongkar-membongkar dan kritik-mengkritik. Sebagaimana pernyataan Max Horkheimer bahwa masa depan manusia tergantung atas adanya kritik dewasa ini. Begitu juga dalam sebuah kata pengatar buku Jurgen Habermas “Teori Tindakan Komunikatif I” terdapat pernyataan bahwa ‘rasio bertahan karena ada kritik rasio’. Adanya hal yang demikian tak lain adalah kehausan dan kerinduan manusia atas subtansi realitas. Bongkar-membongkar adalah hal yang selalu bersentuhan dengan manusia dimana hal ini terjadi atas adanya kondisi dan medan yang dihadapinya. Sehingga realitas hari ini yang kita pahami bisa saja berbeda dengan realitas yang akan kita pahami besok hari. Inilah sejarahnya!.
Disisi lain, manusia memang makhluk yang selalu berusaha mencari dan ingin mengungkapkan realitas yang dianggapnya masih kabur. Pertentangan demi pertentangan selalu terjadi dan tak bisa dielakkan. Interpretasi selalu mengalami perubahan dengan kondisi yang dihadapi manusia itu sendiri. Karena menyoal realitas adalah pekerjaan manusia itu sendiri dengan cara apakah realitas itu harus dihadapi, diantisipasi, atau dibongkar?. Kekuatan nalar manusialah ukurannya!.

Jumat, 01 Mei 2015

Mau kemana dan mau apa?



Saya kira tidak perlu dan harus ada yang namanya kesimpulan. Karena setiap kesimpulan akan selalu dihadapkan dengan pertentangan-pertentangan.
Hidup ini memang harus dijalani. Namun kita harus mempunyai arah dan tujuannya. Mau kemana dan mau apa menjadi pertanyaan dalam drama eksistensial manusia itu sendiri. Sehingga, perlombaan untuk menetaskan jawaban “mau kemana dan mau apa?” menjadi sangat sengit baik dalam diri manusia itu sendiri dan manusia dengan manusia.
Mau kemana dan mau apa merupakan suatu pertanyaan yang harus dijawab. Karena manusia adalah sosok yang selalu haus akan sebuah jawaban dan kepastian. Dan inilah yang mengantarkannya pada sikap saling membangun suatu gerakan dan kekuatan dalam setiap bangunan konsepnya. Walaupun sebuah jawaban yang selalu di dambakan dan diharapkan tidak pernah ada dalam kondisi final dan mutlak, melainkan atau dalam kondisi kesementaraan (sebagai pegangan). Sehingga hidup manusia selalu diwarnai oleh tinta pertentangan-pertentangan. Baik dari dan untuk dirinya sendiri atau pun dengan orang lain.
Mau kemana dan mau apa? Tak sesederhana kita mampu menjawabnya. Bunuh diri adalah perkara pertama yang dialami oleh manusia. Artinya, posisi bunuh diri ini merupakan bunuh diri atas konsep yang dibangun oleh nalar sebagai tesis awal dan dihancurkan tesis yang dibangun selanjutnya atau kita mengenalnya dengan anti-tesis. Hal ini sangat wajar terjadi. Karena sudah menjadi bagian dari hidup manusia itu sendiri.
Kewajaran ini akahirnya menjadi hal yang tidak wajar. Mengapa? Karena semakin manusia mempersoalkan realitas baik eksistensinya sendiri atau realitas secara umum akan menjadi bagian hidupnya dalam posisi kecemasan dan kegelisahan sebuah eksistensi.
Kecemasan dan kegelisahan sebuah eksistensi adalah semacam siksaan dari pertanyaan “mau kemana dan mau apa?”. Dalam arti lain dapat dinayatakan demikian, kegelisahan dan kecemasan yang dialami oleh manusia adalah posisinya yang mencoba memahami (Verstehen) realitas yang penuh dengan misteri dan kekaburan.
Menyingkap dan menguliti serta menyoal realitas adalah bahwa realitas itu perlu untuk diterangi.
“Mau kemana dan mau apa?” adalah pertanyaan dimana manusia perlu untuk menjawabnya. Baik dari dirinya sendiri atau dari sumbangsih orang lain.

“Mencoba & Menyoal”



Sejarah manusia berjalan ke arah yang semakin rasional. Begitulah Hegel menegaskan. Maka tidak dapat dipungkiri jika pengetahuan manusia semakin berkembang sesuai dengan kebutuhannya. Dan biasanya hal yang sering mengalami perdebatan panjang adalah sesuatu yang berbau metafisik. Sehingga terdapat beberapa golongan yang pro dan kontra, tentang hal metafisik itu ada dan tidak.
Merupakan sesuatu yang wajar jika manusia bertanya. Karena manusia itu sendiri tidak dapat pernah dipisahkan dari proses berpikir. Lebih lanjut, manusia adalah makhluk yang tidak pernah pensiun dalam berpikir. Rasio bertahan karena ada kritik atas rasio itu sendiri. Jadi, pemahaman seseorang selalu berada dalam kondisi yang tidak aman, melainkan selalu berada dalam kondisi dicurigai.
Sesuatu yang berbau metafisik yang selalu eksis dan bahkan tidak pernah layu dalam berbagai disikusi merupakan sesuatu yang tidak pernah dapat dijangkau dengan mudah. Heidegger menegaskan bahwa persolan metafisik akan selalu berada dalam kondisi yang tidak pernah selesai dan aman.

 “Mungkin hari ini Tuhan yang saya pahami berbeda dengan Tuhan yang akan saya pahami besok. Pertanyaan sederhananya yang selalu menjebak manusia adalah, Tuhan itu sendiri seperti apa, siapa dan dimana? Serta adakah sesuatu yang dilakukan olehnya kepada diri saya yang bersifat rahasia. Lantas darimana saya dapat mengetahuinya?”
02 Mei 2015