Permasalahan yang sering terjadi dizaman modern dalam
pembahasan Tuhan seringkali tak pernah selesai dalam suatu tempat atau forum
jika ada diskusi dan literaturpun bahkan tak bisa memberikan jawaban atas
pertanyaan manusia yang selalu ingin tahu. Apakah posisi manusia disini begitu
luar biasa sehingga segala jawaban-jawaban tak dapat membuatnya puas? atau
posisi manusia dalam mencari kebenaran bersifat subyektif?. Jika manusia adalah
Makhluk yang sangat luar biasa atas akal dan fikirannya sehingga membuatnya
selalu bertanya dan jika tersaji jawaban ia masih belum bisa menerima dengan
tenang. Jika manusia menilai jawaban aau kebenaran secara subyektif berarti
kebenaran obyektif tak ada atau semua hasil pemikiran yang ditetapkan benar
memang sudah selayaknya bersifat ralatif karena pola pikir manusia yang begitu
hebat tiada tandingannya.
Jawaban yang tak pernah membuat kepuasan terhadap
dirinya membuat manusia bersikap brutal dalam menanggapi segala permasalahan
yang menimpanya. Tak jarang manusia berkontemplasi dalam menelaah sebuah
keragu-raguannya. Karena yang difikirkan adalah sesuatu yang semua manusia
menganggapnya waw, hebat, luar biasa,
dan tak ada tandingannya, membuat manusia saat itu terlecehkan karena akalnya
tak mampu menyelami rasa ingin tahunya.
Pada taraf kebingungan yang dialami manusia tak jarang
membuat kesimpulan yang melenceng yaitu meniadakannya, membauangnya dengan rasa
acuh, bahkan membuanuhnya dengan akal fikirnya. Karena manusia yang selalu
berfikir akan terus meragukan segala sesuatu sebelum mempercayai sesuatu. Sifat
ekstrim manusia begitu luar biasa dan seakan-akan hanya dirinya yang bisa
menciptakan kebahagiaan dan kesedihan. Memang jika berkaca pada aliran eksistensialisme-nya
Jean-Paul Sartre manusia adalah pencipta bukan dicipta yaitu dengan alasan
bahwa manusia tidak mempunya kodrat atau esensi. Menurut Jean-Paul Sartre jika
manusia mempunyai kodrat atau esensi maka orang lain bisa menilainya dengan
senaknya sendiri dan manusia yang mempunyai kodrat atau esensi tidaklah
mempunyai kebebasan. Karena Jean-Paul Sartre pada saat itu sangat
mendewa-dewakan kebebasan sehingga berkesimpulan jalan hidup manusia hanya bisa
ditentukan oleh dirinya sendiri yaitu dengan kebebasannya dalam sebuah pilihan.
Maka tak jarang jika seseorang sudah mendewa-dewakan kebebasannya menjadi
atheis seketika karena sudah beranggapan “apa tak bisa aku perbuat untuk diriku
sendiri”. Dan manusia itu juga akan beranggapan bahwa Tuhan tiada, jika tuhan
ada, ia akan menuntun jalanku dan saat itu aku tak mempunyai kebebasan.
Begitu ekstrim sekali akal manusia itu sampai dengan
keberaniannya meniadakan Tuhan demi kebebasannya. Lain halnya dengan tokoh
muslim Ibn Arabi, Ia memang beranggapan bahwa “Tuhan tidak Ada”, dan tidak
adanya tuhan disini bukan meniadakan Tuhan dalam artian Tuhan memang
benar-benar tidak ada. Akan tetapi tidak adanya Tuhan karena Manusia tak dapat
menjangkaunya dengan indera, akal dan segala kemampuan manusia. Tuhan adalah Misteri.
Ia adalah misteri yang absolut. Tuhan pada dirinya adalah “Tuhan yang tidak
dapat diketahui, yang transenden, tidak terikat dengan atribut dan identitas
apapun. Begitulah alasan Ibn Arabi dalam ucapnnya tentang tidak adanya Tuhan
atau sering disebut dengan teologi negatif.
Diantara buah pemikiran Sartre dan Ibn Arabi dalam
meniadakan Tuhan berbeda-beda makna. Memang begitulah yang akan terjadi, perang
ideologi tak akan pernah selesai sampai kapanpun. Jika manusia masih
dianugerahi akal. Seandainya akal sudah hilang dalam diri manusia maka perang
ideologi tak akan terjadi dan yang terjadi adalah perang fisik. Karena perang
fisik tak lain dari perbuatan hewan, manusia dan hewan kini sudah setara. Namun
lain halnya jika akal tetap ada, kebebasan dalam berfikir atau perang ideologi
akan terus mengaung bagai singa lapar.
Oleh : Mahasiswa
Tuhan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar