Minggu, 06 April 2014

“ TAK ADA TUHAN ; Dalam perspektif subyektif ”



Permasalahan yang sering terjadi dizaman modern dalam pembahasan Tuhan seringkali tak pernah selesai dalam suatu tempat atau forum jika ada diskusi dan literaturpun bahkan tak bisa memberikan jawaban atas pertanyaan manusia yang selalu ingin tahu. Apakah posisi manusia disini begitu luar biasa sehingga segala jawaban-jawaban tak dapat membuatnya puas? atau posisi manusia dalam mencari kebenaran bersifat subyektif?. Jika manusia adalah Makhluk yang sangat luar biasa atas akal dan fikirannya sehingga membuatnya selalu bertanya dan jika tersaji jawaban ia masih belum bisa menerima dengan tenang. Jika manusia menilai jawaban aau kebenaran secara subyektif berarti kebenaran obyektif tak ada atau semua hasil pemikiran yang ditetapkan benar memang sudah selayaknya bersifat ralatif karena pola pikir manusia yang begitu hebat tiada tandingannya.
Jawaban yang tak pernah membuat kepuasan terhadap dirinya membuat manusia bersikap brutal dalam menanggapi segala permasalahan yang menimpanya. Tak jarang manusia berkontemplasi dalam menelaah sebuah keragu-raguannya. Karena yang difikirkan adalah sesuatu yang semua manusia menganggapnya waw, hebat, luar biasa, dan tak ada tandingannya, membuat manusia saat itu terlecehkan karena akalnya tak mampu menyelami rasa ingin tahunya.
Pada taraf kebingungan yang dialami manusia tak jarang membuat kesimpulan yang melenceng yaitu meniadakannya, membauangnya dengan rasa acuh, bahkan membuanuhnya dengan akal fikirnya. Karena manusia yang selalu berfikir akan terus meragukan segala sesuatu sebelum mempercayai sesuatu. Sifat ekstrim manusia begitu luar biasa dan seakan-akan hanya dirinya yang bisa menciptakan kebahagiaan dan kesedihan. Memang jika berkaca pada aliran eksistensialisme-nya Jean-Paul Sartre manusia adalah pencipta bukan dicipta yaitu dengan alasan bahwa manusia tidak mempunya kodrat atau esensi. Menurut Jean-Paul Sartre jika manusia mempunyai kodrat atau esensi maka orang lain bisa menilainya dengan senaknya sendiri dan manusia yang mempunyai kodrat atau esensi tidaklah mempunyai kebebasan. Karena Jean-Paul Sartre pada saat itu sangat mendewa-dewakan kebebasan sehingga berkesimpulan jalan hidup manusia hanya bisa ditentukan oleh dirinya sendiri yaitu dengan kebebasannya dalam sebuah pilihan. Maka tak jarang jika seseorang sudah mendewa-dewakan kebebasannya menjadi atheis seketika karena sudah beranggapan “apa tak bisa aku perbuat untuk diriku sendiri”. Dan manusia itu juga akan beranggapan bahwa Tuhan tiada, jika tuhan ada, ia akan menuntun jalanku dan saat itu aku tak mempunyai kebebasan.
Begitu ekstrim sekali akal manusia itu sampai dengan keberaniannya meniadakan Tuhan demi kebebasannya. Lain halnya dengan tokoh muslim Ibn Arabi, Ia memang beranggapan bahwa “Tuhan tidak Ada”, dan tidak adanya tuhan disini bukan meniadakan Tuhan dalam artian Tuhan memang benar-benar tidak ada. Akan tetapi tidak adanya Tuhan karena Manusia tak dapat menjangkaunya dengan indera, akal dan segala kemampuan manusia. Tuhan adalah Misteri. Ia adalah misteri yang absolut. Tuhan pada dirinya adalah “Tuhan yang tidak dapat diketahui, yang transenden, tidak terikat dengan atribut dan identitas apapun. Begitulah alasan Ibn Arabi dalam ucapnnya tentang tidak adanya Tuhan atau sering disebut dengan teologi negatif.
Diantara buah pemikiran Sartre dan Ibn Arabi dalam meniadakan Tuhan berbeda-beda makna. Memang begitulah yang akan terjadi, perang ideologi tak akan pernah selesai sampai kapanpun. Jika manusia masih dianugerahi akal. Seandainya akal sudah hilang dalam diri manusia maka perang ideologi tak akan terjadi dan yang terjadi adalah perang fisik. Karena perang fisik tak lain dari perbuatan hewan, manusia dan hewan kini sudah setara. Namun lain halnya jika akal tetap ada, kebebasan dalam berfikir atau perang ideologi akan terus mengaung bagai singa lapar.
Oleh : Mahasiswa Tuhan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar