Pengalaman rasa sakit dan pencarian akan obat (pencarian akan yang
akhir: kebenaran) merupakan wajah sejarah manusia. Hidup ini seolah
‘digiring’ untuk memecahkan selimut kerinduan. Kerinduan yang begitu dalam akan
seseuatu tanpa cacat hadir dalam dunia nyata.
Semua orang bertarung, melawan, menggunakan banyak cara, menggunakan banyak
topeng (wajah lain) dan menjadi pengembara karena terdorong oleh sesuatu untuk
mengutuhkan dirinya.
Adakah alasan lain? yaitu, untuk TERTAWA.
Tindakan kita selalu berwajah lain walaupun disertai dengan konsep yang
dibangun dengan pondasi cakar langit. Pikiran itu terlalu mulus. Kemulusannya
yang tak pernah tampak. Lantas, apakah pikiran itu memang musuh dari realias?
Ada jutaan dan bahkan ribuan tumpukan obat. Namun kegunaannya masih dalam
absurditas. Bukan menyembuhkan, melainkan menakutkan seperti mumi-mumi dan
berhala-berhala. Sepertinya masih belum ada manusia dalam hidupnya bertemu
dengan kekeliruan yang terakhir kalinya. Begitu pula dengan kebenaran ! Masih
adakah bentuk final, clear,
mutlak di dunia ini? Sehingga ia lepas dari rasa curiga.
Penderitaan dalam hidup ini semakin sulit dipahami. Dunia terlalu banyak
di isi orang-orang yang meminta tolong daripada penolong.
Tidak hendak bersikap fatalistik, apakah semua ini memanglah enigma dan
omong kosong belaka. Kenyataan yang tampak adalah semua manusia haus dan butuh
akan pegangan untuk terus tetap hidup. Pegangan itu dapat berupa prinsip,
tujuan, agama, Tuhan, ilmu pengetahuan,
kebenaran, kekeliruan, kekuasaan dan pegangan-pegangan lainnya.
Kebutuhan akan pegangan menjadi pelarian. Di-amini sebagai obat segala persoalan.